Selasa, 27 November 2012

Teori Perubahan Sosial Budaya "Arnold Joseph Toynbee"

Sekilas Tentang Toynbee

Toynbee yang bernama lengkap Arnold Joseph Toynbee lahir di London, Inggris pada tanggal 14 April tahun 1889. Ia merupakan sejarawan besar yang menulis buku monumental yang mengulas tentang peradaban manusia, A Study of history sejumlah 12 jilid antara tahun 1934-1961 yang menuliskan tentang sebuah metahistory yang ada dalam peradaban yang mencakup kemunculan, pertumbuhan dan kehancurannya. Dia menamatkan studinya di Winchester College dan Baliol College di Oxford Inggris kemudian pada British Archaeological School di Athena Yunani. Ia memulai karir sebagai pengajar di Balliol pada tahun 1912, dan kemudian menjadi pengajar di King’s College, London kemudian sebagai Profesor sejarah Modern Yunani dan Binzantium, menjadi guru besar sejarah internasional di Universitas London pada 1925-1946, serta pada London School Economics dan di Royal Institute of International Affairs (RIIA) di Chatam House. Kemudian ia menjadi pemimpin dari RIIA pada tahun 1925-1955. Dia bekerja pada departemen Ilmu Pengetahuan di Departemen Luar Negeri Inggris dan pada saat perang dunia pertama berlangsung dan kemudian menjadi delegasi pada Paris Peace Conference pada tahun 1919 dan pada 1946 menjadi delegasi untuk acara yang sama. Bersama dengan asisten penelitinya, Veronica M. Boulter, yang kemudian nantinya menjadi istri keduanya, dia menjadi co-editor Survey of International Affairs yang diadakan RIIA. Pada saat perang dunia kedua, dia kembali bekerja di departemen luar negeri dan menjadi pembicara pada seminar tentang perdamaian. Kehidupan pribadinya, ia menikah dengan rosalind Murray, purti dari Gilbert Murray dan dikaruniai tiga orang putera. Namun mereka bercerai, dan kemudian Toynbee menikah dengan Veronica M. Boulter pada tahun 1946. Toynbee meninggal pada 22 Oktober 1975 .

Pemikiran Yang Mempengaruhi

Pemikiran toynbee tentang peradaban adalah bahwa peradaban selalu mengikuti alur mulai dari kemunculan sampai kehancuran. Teori Toynbee ini senada dengan hukum siklus. Artinya ada kelahiran, pertumbuhan, kematian, kemudian disusul dengan kelahiran lagi, dan seterusnya. Pemikiran Toynbee ini senada dengan teori yang berkembang di Yunani pada masa pra-Socrates. Mengacu pada pemikiran Toynbee tentang terbentuknya gereja universal, munculnya penyelamat atau Al Mahdi, pernyataan bahwa peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama, dan fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan maka secara tidak langsung pemikiran ini senada dengan pemikiran para pemikir patristik, seperti St Augustinus. Lebih lanjut lagi Toynbee menyatakan bahwa keruntuhan kebudayaan bisa dihentikan. Upaya menghentikan keruntuhan kebudayaan/peradaban yang mungkin berhasil ialah dengan penggantian segala norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa dengan penggantian itu, tampaklah pula tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan, atau dengan bahasan yang lebih konkret adalah Kerajaan Allah. Mengenai pandangan ini Ali menyatakan bahwa teori Toynbee merupakan muara teori Augustinus, yatu Civitas Dei.

Konsep Peradaban Toynbee

Dalam mengaji peradaban itu, Toynbee melakukan pendekatan yang sama. Ia dengan detail mengulas tentang asal usul, pertumbuhan, kemunduran, status universal, dan disintegrasi. Ia membuat generalisasi berdasarkan semua bukti historis yang pernah tercatat. Menurutnya, unit studi sejarah yang tepat bukan keseluruhan umat, bukan pula satu negara-bangsa tertentu tetapi adalah “unit menengah” yang rentangan ruang dan waktunya lebih besar daripada sebuah masyarakat tertentu tetapi lebih kecil daripada kemanusiaan, yakni peradaban. Gagasan tentang adanya keunikan atau potensi dominan dalam setiap peradaban muncul kembali. Contohnya, estetika dalam peradaban Hellenis; agama dalam peradaban Hindu; ilmu dan teknologi dalam peradaban Barat.

Toynbee melihat gejala peradaban sebagai sebuah siklus. Dalam pandangan ini peradaban, seperti halnya riwayat organisme hidup, mengalami tahap-tahap kelahiran, tumbuh dewasa dan runtuh. Dalam proses perputaran itu sebuah peradaban tidak selalu berakhir dengan kemusnahan total. Terdapat kemungkinan bahwa proses itu berulang, meskipun dengan corak yang tidak sepenuhnya sama dengan peradaban yang mendahuluinya. Toynbee menyatakan bahwa peradaban peradaban baru yang menggantikannya itu dapat mencapai prestasi melebihi peradaban yang digantikannya. Lebih lanjut lagi bagi Toynbee peradaban adalah suatu rangkaian siklus kehancuran dan pertumbuhan, tetapi setiap peradaban baru yang kemudian muncul dapat belajar dari kesalahan-kesalahan dan meminjam kebudayaan dari tempat lain. Dengan demikian, memungkinkan setiap siklus baru memunculkan tahap pencapaian yang lebih tinggi. Ini berarti setiap siklus dibangun di atas peradaban yang lain.

Arnold J. Toynbee mengarang buku A Study of History tahun 1933. Teori Toynbee didasarkan atas penelitian terhadap 21 kebudayaan yang sempurna dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna. 21 kebudayaan yang sempurna. Kesimpulan Toynbee ialah bahwa gerak sejarah tidak terdapat hokum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan-keudayaan dengan pasti. Yang disebut kebudayaan (civilization) oleh Toynbee ialah wujud kehidupan suatu golongan seluruhnya. Menurut Toynbee gerak sejarah berjalan menurut tingkatan-tingkatan seperti berikut :
  1. Genesis of civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan.
  2. Growth of civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan.
  3. Decline of civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan. Tingkatan ini terdiri dari:
  1. Breakdown of Civilizations (kemerosotan kebudayaan), Terjadi karena minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas pecah dan tentu tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
  2. Disintegration Civilizations (kehancuran kebudayaan), Mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu sudah menjadi batu, mati dan mejadi fosil.
  3. Dissolution of Civilization (lenyapnya kebudayaan), Lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur dan lenyap.

Toynbee mendeskripsikan sebab-sebab muncul, tumbuh, dan gulung tikarnyakebudayaan dari kesejarahan. Ia meekankan sisi “intelligible” (semacam penalaran) studi sejarah dimana peradaban muncul bila manusia menghadapi situasi sulit yang menantang hingga bertumbuh kegiatan-kegiatan kreatif untuk melakukan usaha-usha yang tak terduga dalam proses “challenge and response”. Melalui tantanganini munculah peradaban, dan bila terus kreatif akan menumbuhkan tanggapan yang makin canggih dengan kreativitas yang makin optimal. Rangsangan-rangsangan kebudayaan terus diasah dan dipertajam yang secara lahiriah berupa penguasaan keadaan luar dan secara batiniah berupa artikulasi dari dalam “self-determination” yang progresif. Terdapat proses “etherialization” yaitu ikhtiar-ikhtiar untuk memusatkan energy kebudayaan pada optimalisasi tantangan-tantangan yang semakin halus atau spiritualisasidari kebudayaan. Perdaban akan runtuh bila gagal memunculkan kretivitas dalam menghadapi tantangan. Puncak keruntuhan terjadi bila ada disintegrasi peradaban dimana kesatuan sosial pecah dan ketidakmampuan kebudayaan itu memberi tanggapan kreatif pada tantangan zaman.

Peradaban bagi Toynbee bermula ketika manusia mampu menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras kemudian berhasil juga dalam menjawab tantangan lingkungan sosial. Pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan berikutnya. Kriteria pertumbuhan itu tidak diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan fisik (misalnya melalui teknologi), atau pengendalian lingkungan sosial (misalnya melalui penaklukan), melainkan diukur dari segi peningkatan kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia, yakni semangat yang kuat (self determination) untuk mengatasi rintangan-rintangan eksternal. Dengan kata lain, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan spiritual. Mengapa peradaban bisa muncul? Pertanyaaan itulah yang mengawali pemikiran Toynbee tentang munculnya peradaban. Pada mulanya ia berpikiran bahwa faktor gen dalam ras dan kondisi lingkungan fisiklah yang menjadi landasan utama munculnya peradaban. Akan tetapi pada akhirnya pemikiran tesebut digugurkannya sendiri. Tidak ada ras yang superior dan tidak ada lingkungan fisik yang benar-benar menciptakan peradaban dalam sendirinya. Hal ini dikarenakan ras dan lingkungan fisik hanya bersifat membantu perkembangan peradaban.

Peradaban muncul karena dua faktor yang berkaitan: adanya minoritas kreatif dan kondisi lingkungan. Antara keduanya tak ada yang terlalu menguntungkan atau terlalu merugikan bagi pertumbuhan kultur. Mekanisme kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup kultur dijelmakan dalam konsep tantangan dan tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula alamiah, kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan masyarakat melalui minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu. Segera setelah itu tantangan ditanggapi, muncul tantangan baru dan diikuti oleh tanggapan berikutnya.

Toynbee memperkenalkan sejarah dalam kaitan dengan challenge-and-response. Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan kesukaran ekstrim, ketika "minoritas kreatif" yang mengorientasikan kembali keseluruhan masyarakat. Minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki "self-determining" (kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat). Dengan adanya minoritas kreatif, sebuah kelompok manusia akan bisa keluar dari masyarakat primitif.

Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus. Toynbee membahas lima perangsang yang berbeda bagi kemunculan peradaban, yakni kawasan yang: ganas, baru, diperebutkan, ditindas, dan tempat pembuangan. Kawasan ganas mengacu pada lingkungan fisik yang sukar ditaklukkan, seperti wilayah yang terbiasa untuk banjir bandang yang senantiasa mengancam seperti di sepanjang sungan Hoang Ho, Cina. Kawasan baru mengacu kepada daerah yng belum pernah diolah dan dihuni, sehingga masyarakat akan merasa asing dan melakukan upaya untuk adaptasi. Kawasan yang dipersengketakan, temasuk yang baru ditaklukkan dengan kekuatan militer. Kawasan tetindas menunjukkan suatu situasi ancaman dari luar yang berkepanjangan. Kawasan hukuman atau pembuangan mengacu pada kawasan tempat kelas dan ras yang secara historis telah menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksploitasi.

Namun demikian, tidak semua tantangan bisa dianggap sebagai sebuah rangsangan positif. Ada pula tantangan yang tidak menimbulkan peradaban. Dalam (Ali Purnomo, 2003) diterangkan bahwa dalam alam yang baik, manusia akan berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan, seperti di Eropa, India, dan Cina. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah kegiatan manusia membeku (Eskimo) dan di daerah yang terlalu panas tidak dapat timbul suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi). Tantangan itu mungkin sedemikian hebatnya sehingga orang tidak dapat menciptakan tanggapan memadai. Oleh karena itu, tidak ada hubungan langsung antara tantangan dan tanggapan, tetapi hubungannya berbentuk kurva linear. Artinya tingkat kesukaran yang sangat besar dapat membangkitkan tanggapan yang memadai, tetapi tantangan ekstrim dalam arti terlalu lemah dan terlalu keras, tidak mungkin membangkitkan tanggapan memadai.

Toynbee dalam Lauer (2001) menyebut tahap pertumbuhan (growth) sebagai proses “penghalusan”, yakni pergeseran penekanan dari alam kemanusiaan atau perilaku yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Ini berarti menaklukkan rintangan awal sehingga dengan demikian energi dapat tersalurkan untuk menanggapi tantangan yang lebih bersifat internal dari pada yang bersifat eksternal, dan yang bersifat spiritual ketimbang material. Pertumbuhan demikian berarti peningkatan penentuan nasib sendiri, dan ini menimbulkkan deferensiasi terus menerus di antara bagian-bagian masyarakat. Diferensiasi ini tejadi karena sebagian masyarakat tertentu berhasil memberikan tanggapan memadai atas tantangan; sebagian yang lain berhasil dengan jalan meniru bagian yang berhasil itu. Sebagian yang lain lagi gagal, baik dalam menciptakan atau meniru, dan demikian akan mendekati kematian. Akibatnya adalah berkembangnya ciri khas tertentu di dalam setia peradaban. Peradaban Yunani misalnya, memiliki keunggulan pandangan estetika mengenai kehidupan sebagai suatu keseluruhan. Peradaban hindu dan India cenderung menuju ke suatu pandangan hidup yang mengtamakan keagamaan. 

DAFTAR PUSTAKA

http://en.wikipedia.org/wiki/arnold_joseph_toynbee
Membedah-pemikiran-arnold-j-toynbee.html
Nasherooy.blogspot.com/2010/05/teori-siklus-arnold-toynbee.html
Sutrisno, Muji&Putranto,Hendar. 2005. Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius

0 komentar:

Posting Komentar